Umi yang telah bekerja selama hampir sembilan tahun di Palestina akhirnya berhasil kembali ke Tanah Air berkat bantuan Palang Merah Internasional (ICRC) dan Kedutaan Besar RI di Kairo, Mesir. Umi tiba di Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng sekitar pukul 13.30 dengan pesawat Etihad nomor penerbangan EY 472.
“Saya tidak pernah menyangka bisa kembali ke Tanah Air,” kata Umi sambil terisak. Setelah berhasil menenangkan diri, dia pun bercerita. Bersama 15 teman lainnya, Umi berangkat dari Bandara Cengkareng tahun 2000. Saat itulah ia baru tahu akan ditempatkan di Palestina. Setelah tiba di Amman, Yordania, mereka semua berpisah.
Dia kemudian dipekerjakan di keluarga Palestina, pasangan suami-istri dosen Universitas Al-Azhar dengan empat anak dan kedua orang tua mereka.
Selama sembilan tahun bekerja, dia dijanjikan upah sebesar US$ 125 per bulan. Namun, uang itu tidak pernah diterimanya. “Saya bilang ke majikan, kalau saya perlu mengirim uang untuk orang tua saya. Majikan yang mengirim,” kata Umi yang selama bekerja ditugaskan merawat kedua orang tua majikannya. Menurut Umi, selama bekerja tidak ada masalah, kecuali saat dia meminta dipulangkan. “Saya minta pulang berulang kali, tapi majikan selalu menahan,” katanya. Umi mengaku sudah sejak lama tidak tahan, bahkan sebelum perang baru-baru ini. Kondisi Palestina selalu gawat dan ledakan bom sering terdengar. “Palestina bukan tempat yang baik untuk bekerja,” tambahnya.
Dipukuli
Umi mengaku ia terus-menerus minta dipulangkan hingga bertengkar dengan majikan. Umi juga mengaku mengaku dipukuli hingga wajahnya bengkak, sampai akhirnya dituduh mencuri uang dan perhiasan.
“Saya bukan pencuri, lihat saja tidak, apalagi mengambil. Tapi saya pikir, kalau saya begini terus saya akan mati dan tidak ada yang tahu, karena itu saya minta dilaporkan ke polisi,” papar Umi.
Saat di penjara itulah Umi bertemu Ramez Timraz yang dipanggilnya Ramzi. Menurut Umi, polisi di sana tidak percaya ia mencuri dan berupaya membebaskannya. Namun sebelum proses itu selesai, serangan Israel keburu meletus. Ruangan penjara yang ditempatinya tak luput dari serangan bom. “Semua jendela pecah, pintu jatuh,” kenangnya.
Bersama sepuluh narapidana yang lain, mereka mengungsi. Umi sempat menolong seorang temannya yang tertimpa pintu besi.
Dalam pelarian, Umi teringat temannya yang tinggal di Jalur Gaza. Dia lalu tinggal di sana selama satu bulan, namun bom-bom terus berjatuhan. Mereka mengungsi saat rumah tetangga terkena bom.
Saat situasi sudah aman, dirinya kembali menengok penjara tempatnya pernah ditahan. Ketika itulah dia bertemu Ramzi yang mengatakan bahwa dia dicari-cari orang KBRI.
Umi pun dipertemukan dengan staf KBRI Muhammad Abdullah. Namun, Umi menyatakan tidak ingin pulang dengan tangan hampa.
“Saya tidak mau pulang sebelum terima gaji,” kata Umi yang berangkat melalui PT Andhika Indah Bakti, lalu dialihkan ke PT Amira Prima.
Majikan hanya mau memberi separuh gaji Umi. Namun, pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja, hari ini, Rabu (28/1) memberikan santunan kepada Umi. “Kami berharap Umi bisa memanfaatkan santunan dari pemerintah dengan sebaik-baiknya,” kata Teguh Wardoyo, Direktur Perlindungan WNI dan BHI, Deplu.
Umi mengaku, tidak ingin kembali bekerja di luar negeri. Sulung dari empat bersaudara ini belum punya rencana apa-apa bagi masa depannya. Katinem, sang ibu, saat ditanya apakah akan mengizinkan Umi bekerja lagi ke luar negeri hanya menjawab pasrah. “Terserah anaknya,” kata Katinem sambil memandang putrinya dengan berkaca-kaca. (natalia santi)
dipublikasikan di Sinar Harapan, Rabu 28 Januari 2009
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0901/28/lua04.html
No comments:
Post a Comment