LAPORAN KHUSUS
Indonesia Perjuangkan Palestina dengan Segala Cara
Jakarta - Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memperjuangkan Palestina dengan segala cara, meski menyadari sulitnya menghadapkan Israel ke hukum internasional. Demikian ungkap Arif Havas Oegroseno, Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Departemen Luar Negeri RI kepada SH, Kamis (12/2).
Dari segi hukum internasional terdapat dua hukum yang biasa dipakai. Pertama, konvensi-konvensi Jenewa soal hukum perang. Namun persoalannya, Israel bukan negara pihak (menandatangani dan meratifikasi-red) dan pengertian perang dalam konvensi-konvensi tersebut adalah pengertian tradisional antara dua negara. Negara-negara Islam tidak mengakui keberadaan Israel sebagai negara, sebaliknya Palestina juga tidak diakui sebagai negara oleh Israel, jadi konvensi internasional tidak dapat berlaku.
“Meski tindakannya melanggar hukum perang, jika bukan negara pihak, tidak bertanggung jawab,” kata Havas.
Kedua, kemungkinan menyeret Israel ke Mahkamah Internasional, menurut Havas, juga tidak bisa diterapkan pada Israel. Baik Israel maupun Palestina bukan negara pihak. “Yang bisa menyeret adalah satu atau kedua negara pihak yang rakyatnya menjadi korban,” katanya.
Satu-satunya kemungkinan adalah melalui Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) seperti yang diterapkan pada Sudan.
“Semua persyaratan keterikatan suatu negara terhadap hukum internasional bisa disimpangi (short cut) dengan keputusan DK PBB. Keputusan tersebut mengikat semua negara,” kata Havas. Karena itulah Indonesia dengan berbagai cara menciptakan satu hukum yang memungkinkan. “Kita ingin menciptakan satu hukum,” kata Havas.
Di akhir masa jabatannya sebagai anggota tidak tetap DK PBB, Indonesia berupaya membuat resolusi agar upaya perdamaian Israel-Palestina akan terus dilaksanakan.
Namun tak lama setelah resolusi itu disahkan, Israel menyerang Jalur Gaza. Indonesia juga mendukung resolusi 1860 soal situasi di Palestina, meski resolusi tersebut tidak menghasilkan langkah yang keras bagi Israel. Dalam pemungutan suara untuk pengesahan resolusi tersebut, dari 15 anggota DK PBB, satu negara abstain, yakni Amerika Serikat. Selain di DK, Indonesia juga berupaya agar Majelis Umum mengeluarkan resolusi yang mengutuk keras tindakan Israel. Namun sayang, pada akhirnya resolusi tersebut dianggap tidak cukup tegas mengutuk dan menuntut Israel untuk segera menarik diri dari wilayah pendudukan, sehingga Indonesia menjadi satu-satunya negara yang mengambil posisi abstain.
“Sedikitnya, kita menunjukkan komitmen kita pada Palestina masih ada dan kita perjuangkan dengan segala cara,” kata Havas.
Sementara di Dewan HAM PBB, Indonesia tidak saja mendukung resolusi yang mengutuk serangan Israel di Palestina juga mensponsori sidang khusus yang membahas situasi pelanggaran berat HAM di wilayah Palestina yang diduduki Israel 9 Januari lalu.
Namun, menurut Wiwiek Setyawati Firman, Direktur Kemanusiaan dan HAM Deplu, posisi negara-negara terkait masalah Israel sangat terpecah. Dari sembilan kali sidang khusus Dewan HAM, lima kali membahas wilayah Palestina yang diduduki Israel, dan satu kali wilayah Lebanon. Semua resolusi soal Palestina selalu melalui voting dan tidak pernah konsensus.
“Ada perbedaan tajam antara Eropa dengan OKI (Organisasi Konferensi Islam-red.). Di dalam OKI sendiri ada perpecahan,” kata Wiwiek kepada SH, Kamis. Bosnia-Herzegovina, negara pengamat dalam OKI, memilih bersikap abstain. Posisi sama dilakukan Kamerun. Perbedaan pendapat soal Israel juga terjadi di Asia. Jepang, dan Korea Selatan yang memilih abstain.
(natalia santi)
diterbitkan di Sinar Harapan, Jumat 13 Februari 2009
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0902/13/sh11.html
No comments:
Post a Comment