Namun, selama 30-40 tahun, jalan yang menutupi Sungai Cheonggyecheon itu mulai retak dan terkikis erosi. Dana perawatan dan perbaikan mencapai tujuh juta won per hari dan dua miliar won per tahun. Kala itu, sekitar 10 miliar won (atau sekitar Rp 100 miliar) dana tambahan sedang diajukan untuk biaya dua tahun 10 bulan berikutnya.
Rusaknya jalan tidak tampak dari luar, tetapi terlihat sangat jelas di terowongan di bawahnya. Kerusakan ekologi terjadi akibat air yang terkontaminasi dan polusi. Relik-relik sejarah yang tersimpan di sana pun hancur.
Kala itu, Wali Kota Seoul (kini Presiden) Lee Myung-bak memprakarsai proyek meruntuhkan jalan layang dan menghidupkan kembali sungai. Lee juga ingin mengembalikan kehidupan alami di kota agar sesuai dengan standar dunia dan desain kota yang ramah lingkungan. Secara bersamaan, sejarah dan budaya yang telah hilang sekitar 30 tahun terakhir digali dan dipertahankan. Lee juga ingin membangkitkan kembali perekonomian metropolitan Seoul.
“Pada saat itu, banyak kecaman yang menolak restorasi,” kata Kang Soo-hak, General Manager Pusat Manajemen Cheonggyecheon, kepada rombongan wartawan peliput “Low Carbon, Green Korea” yang mengunjungi museumnya pertengahan Juni lalu. Bagaimana tidak, hampir 160.000 kendaraan lalu-lalang di jalan layang tersebut. Itu pun bukan berarti tanpa kemacetan. Tidak terbayang jika jalan akan dicabut.
Para pedagang dan pengusaha di sepanjang Jalan Raya Cheonggyecheon juga khawatir. Lee menjawab semua kecaman dan tantangan tersebut secara nyata. Pada saat bersamaan, dia menata sistem transportasi massal Seoul, membangun subway dan jaringan bus-bus, sehingga mengatasi kemacetan yang biasanya terjadi. Kini, sistem subway dan bus Seoul sedemikian rapi. Orang bisa bepergian dengan nyaman tanpa harus berkendaraan pribadi.
Dia juga membangun sekeliling tempat bisnis tersebut dengan industri IT, internasional, dan digital. Ada pula rencana untuk membangun trotoar bagi pejalan kaki yang menghubungkan sungai dengan kawasan tradisional Bukchon, Daehangno, Jungdong, Namchon, dan Donhwamungil.
Sistem jaringan ini disebut Cheonggyecheon Culture Belt (CCB) atau sabuk budaya Cheonggyecheon yang berupaya untuk membangun fondasi dengan dasar budaya dan lingkungan kota.
Restorasi
Mulai Jul 2003, lapis demi lapis jalan dicopot tanpa dinamit dan prosesnya selesai pada tahun itu juga. Secara bersamaan, arkeolog menggali terowongan, menyelamatkan peninggalan-peninggalan sejarah di bawahnya. Jalan-jalan di kedua sisi dibuka. Reruntuhan struktur beton dihancurkan dan fasilitas pembuangan air kotor diperbaiki dan selesai tahun 2004.
Karena sudah lama telantar, sungai menjadi kering. Untuk mengaliri Cheonggyecheon, sekitar 120.000 ton air dipompakan dari Sungai Han, ditambah air tanah dari terowongan subway. Dalam waktu dua tahun tiga bulan dan menelan dana 380 miliar won (sekitar Rp3,8 triliun), proyek Cheonggyecheon sepanjang 5,84 km itu pun selesai. Masyarakat kemudian dikerahkan untuk menanami dan memperindah alur sungai. Kang Soo-hak menuturkan, masyarakat dilibatkan dalam penghijauan kembali sambil belajar ekosistem. Tua-muda dan anak-anak semuanya turun berpartisipasi.
Sejak Oktober 2005, Cheonggyecheon pun berubah menjadi pusat rekreasi dan sejarah Seoul. Warga bisa berolahraga dan berjalan kaki di tepiannya. Anak-anak juga bisa bermain-main di sungai karena telah didesain sedemikian cermat. Kedalaman air dijaga setinggi 40 sentimeter. Kecepatannya juga terukur, lebih cepat dari aliran Sungai Han, tapi tetap aman.
Berbagai tanaman, seperti bunga royal azalea, tumbuh menghiasi sungai saat ini. Ikan-ikan kecil dan ikan-ikan emas berenang ke sana ke mari di air yang jernih. Di tepi sungai, tampak pohon willow, apel, dan persimon menambah keteduhan. Tak heran setelah tiga tahun, suhu udara kota Seoul turun hingga dua-tiga derajat Celcius. Angin lebih sering berembus akibat efek konveksi udara.
Tiap ruas dan jembatan memiliki kekhasan dan kecantikan tersendiri. Salah satu jembatan tak jauh dari Museum Cheonggyecheon dinamai Tembok Pinangan. Di tempat itu, para pemuda bisa berlutut menyatakan cinta kepada kekasihnya, lalu memasangkan gembok kunci di bawah jembatan. Mereka mengukir namanya di sebuah lempeng logam dan menaruhnya di sisi sungai. Di sisi kiri-kanan terdapat kafe dan restoran outdoor yang memanjakan pengunjung dengan berbagai rasa masakan yang unik.
Cheonggyecheon juga didesain indah di malam hari, terutama di air mancur dekat Pasar Gwangjang dan Jembatan Ogamsugyo. Di tempat ini, kerap diselenggarakan pertunjukan air warna-warni.
Restorasi Cheonggyecheon membawa Seoul kembali kepada kehidupan dan memulihkan bagian dari sejarah dan budaya Korea yang telah berusia 600 tahun, sekaligus membantu Seoul lahir kembali sebagai kota ramah lingkungan yang dikelilingi alam. Restorasi tersebut juga menyelesaikan masalah keselamatan jalan layang dan jalan raya yang hampir runtuh. Kabarnya, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo sebulan lalu berkunjung ke Seoul. Semoga dia bisa mencontoh keberhasilan Lee membangun Seoul. (*)
dipublikasikan di Sinar Harapan, 9 Juli 2009
http://www.sinarharapan.co.id/cetak/berita/back_to/indeks-lalu/read/restorasi-cheonggyecheon-jadikan-seoul-ramah-lingkungan/?tx_ttnews%5Byears%5D=2009&tx_ttnews%5Bmonths%5D=07&tx_ttnews%5Bdays%5D=9&cHash=c1891fa494
No comments:
Post a Comment