
Jakarta – Kalangan pengamat menilai bahwa menjaga kepercayaan internasional adalah pelajaran yang bisa dipetik oleh Indonesia dari kasus program nuklir Iran. Pendapat tersebut disampaikan Begi Hersusanto, peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dalam seminar berjudul “Program Nuklir Iran: Untuk apa, Dapatkah Indonesia Mengambil Pelajaran”, Kamis (31/1), di Jakarta.
Pendapat serupa disampaikan Hikmahanto Juwaha, pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia. Hikmahanto menyatakan Indonesia harus meyakinkan masyarakat internasional agar tidak dianggap sebagai negara tempat berlindung para teroris.
Menurut Hikmahanto, kontroversi seputar program nuklir Iran dipenuhi aspek politis dan politisasi. Jika Iran tidak dianggap Poros Setan oleh Presiden Amerika Serikat George W Bush, kemungkinan negara itu akan diizinkan untuk memperkaya uranium untuk tujuan damai seperti yang pernah terjadi dalam sejarah negara itu.
Duta Besar Iran untuk Indonesia Behrooz Kamalvandi menegaskan negaranya diperlakukan tidak adil dengan dicegah untuk mengembangkan senjata nuklir. “Selama beberapa tahun terakhir ini, pemerintahan AS dan beberapa negara Barat telah melancarkan propaganda tidak adil dan sepihak yang negatif terhadap Iran, dan telah menyalahgunakan isu energi nuklir sebagai instrumen untuk melakukan tekanan atas Iran,” kata Kamalvendi dalam makalah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh diplomat Iran. Dia menambahkan negara-negara tersebut mencoba mencabut hak Iran atas penggunaan ilmu pengetahuan yang penting.
Duta Besar Belgia untuk Indonesia, Marc Trenteseau, yang juga hadir dalam seminar tersebut menyatakan negara-negara Barat bukan bermaksud menekan Iran. Trenteseau mempertanyakan jika Iran menginginkan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) untuk tujuan damai, mengapa menolak untuk menerima bantuan bahan bakar. “Karena di situlah letak kecurigaan masyarakat internasional,” kata Trenteseau.
Bantuan bahan bakar PLTN yang ditawarkan cukup untuk menghidupkan pembangkit tersebut selama setahun atau lebih. “Jerman dan Belgia juga memiliki energi nuklir untuk damai, namun kami tidak membuat sendiri bahan bakarnya,” kata Trenteseau.
Menjawab pertanyaan tersebut, Kamalvandi menyatakan Iran memiliki 20 ilmuwan nuklir serta fasilitas yang mulai berkarat karena itu mereka tidak mau menyia-nyiakannya hanya untuk tunduk kepada perintah AS.
PLTN Muria
Sementara itu, Mohammad AS Hikam, mantan Menteri Riset dan Teknologi selaku moderator mengaku heran pada sikap rakyat Indonesia. “Mengapa rakyat Indonesia mendukung Iran untuk memiliki PLTN, sementara saat PLTN akan dibangun di sini, rakyat malah dengan keras menolak,” katanya.
Indonesia sendiri sampai saat ini tidak memiliki masalah soal kepercayaan dunia maupun badan energi atom internasional (IAEA). Hikmahanto berpendapat masalah kepercayaan itu mungkin berbeda jika Presiden RI, misalnya, Abu Bakar Baasyir, atau Presiden AS bukan Bush.
Kurangnya dukungan rakyat Indonesia dan bahkan menentang didirikannya PLTN menurut Sabam Sirait, anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDIP, karena mereka tidak percaya ketelitian orang Indonesia.
“Saya sudah ke Jepara, dan kalau masyarakat menganggap itu tidak aman ya cari tempat lain saja,” kata Sabam yang mendukung dibangunnya PLTN. Dia menyatakan PLTN seharusnya sejak dulu dibangun. “Vietnam saja akan membangun PLTN,” katanya.
Menurut Hudi Hastowo, Kepala Badan Energi Nuklir Nasional, pemerintah memproritaskan keamanan dan keselamatan dalam pembangunan PLTN di Muria. “Kami sudah memperhitungkan keselamatan bahkan dua aspek seperti seismik dan vulkanologi selalu diperiksa IAEA dan sampai saat ini dinyatakan aman,” katanya.
(natalia santi)
dipublikasikan di sinar harapan, 1 Februari 2008
No comments:
Post a Comment