Mengintip Visi Nasional Korsel
Pertumbuhan Ekonomi Berwawasan Lingkungan “Green Growth”
Seoul – Jauh sebelum menjadi Walikota Seoul, Lee Myung-bak (kini Presiden Korea Selatan) sudah berangan-angan menyaksikan aliran sungai melintasi pusat kota. Banyak kalangan menentang rencananya. Dalam dilema, mengatasi jalan raya yang hampir runtuh dan keinginan mewujudkan cita-cita, saat itulah, Walikota Lee melihat sebatang tunas kecil menyembul di terowongan di bekas sungai Chenggyecheon yang ditimbun. “Berarti ada harapan,” pikirnya.
Restorasi Sungai Cheonggyecheon pun dimulai Juli 2003 dan selesai Oktober 2005. Tanpa dinamit, jalan raya 'dipreteli' lapis demi lapis. Sejak sungai warisan sejarah itu kembali mengalir, suhu udara Kota Seoul turun dua hingga tiga derajat Celcius. Dari jalan raya yang dilintasi 160.000 kendaraan per hari, Cheonggyecheon berubah menjadi kawasan hijau yang sarat dengan nilai sejarah dan tradisi. Apik tertata di tengah pusat bisnis dunia di sekelilingnya.
Keberhasilan menyeimbangkan bisnis dan alam di Chenggyecheon tampaknya menjadi salah satu pendorong Lee memantapkan visi pembangunan berwawasan lingkungan bagi Korea. Pada peringatan berdirinya Republik Korea 15 Agustus 2008, Lee pun mengumumkan visi nasional “Green Growth” untuk jangka waktu 60 tahun ke depan.
Tujuannya meningkatkan pertumbuhan ekonomi sambil melindungi dan menjaga lingkungan. Ada tiga prinsip “Green Growth”. Pertama, meminimalisir penggunaan energi dan sumber daya dalam aktivitas ekonomi. Kedua, mengurangi tekanan terhadap lingkungan seminimal mungkin dalam setiap penggunaan energi. Ketiga, menjadikan investasi lingkungan sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi.
Dalam mengatasi krisis ekonomi global, pemerintah Korsel memfokuskan stimulus ekonomi pada program berwawasan lingkungan. Paket stimulus ekonomi senilai 50 triliun won dikucurkan bagi sembilan proyek hijau dalam empat tahun ke depan. Proyek-proyek tersebut antara lain revitalisasi empat sungai utama, membangun sarana transportasi, energi bersih dan mobil, kantor-kantor, sekolah-sekolah perumahan, semuanya yang ramah lingkungan. Rencana itu diharapkan bisa menciptakan 956 ribu lapangan kerja baru bagi rakyat.
Pemerintah Korsel juga sudah menetapkan rencana dasar energi. Targetnya, meningkatkan penggunaan energi alternatif yang terbarukan hingga 11 persen pada tahun 2030. Pemerintah juga melipatgandakan anggaran di 27 bidang riset dan teknologi ramah lingkungan pada 2012 dari US$ 769 juta tahun 2008.
Banyak Tantangan
Meski demikian, pemerintah Korsel mengaku implementasi 'Green Growth' tidak semulus rencana. Proyek revitalisasi empat sungai dicurigai para aktivis sebagai akal-akalan Presiden Lee untuk meneruskan ambisi membangun terusan raksasa. Saat berkampanye dalam pemilihan presiden, Lee berjanji untuk membangun terusan yang menghubungkan Sungai Han di Seoul dan Sungai Nakdong di Busan. Para aktivis keberatan dengan terusan tersebut. Meski demikian, Presiden Lee telah resmi menyatakan akan mengesampingkan rencana tersebut, Minggu (28/6) lalu. Lee akan mengutamakan proyek revitalisasi empat sungai untuk memperbaiki kualitas air dan menjamin ketersediaannya.
Tantangan lainnya adalah mensosialisasikan visi tersebut pada masyarakat. Perdana Menteri Han Seong So dalam jamuan makan siang bersama 15 wartawan peserta seminar mengatakan dia turun mensosialisasikan visi itu kepda 6.000 staf di 15 kota dan provinsi di Seoul. “Kita juga membuat versi film kartun untuk memperkenalkannya pada anak-anak,” kata PM yang pernah menjadi utusan khusus PBB bidang perubahan iklim.
Guna menjamin keberlangsungan visi, pemerintah Korsel juga tengah mengajukan draf Undang-undang “Green Growth”. Jika disahkan, undang-undang tersebut akan menjadi peraturan komprehensif yang mencakup seluruh bidang energi, perubahan iklim dan pembangunan yang berkelanjutan. Menurut PM Han, tidak seperti dalam masalah-masalah lain, kalangan oposisi dalam parlemen pun mendukung inisiatif ramah lingkungan ini.
Pemerintah Korsel juga membentuk Komite Kepresidenan khusus masalah Green Growth. Komite itu terdiri atas 47 orang dari berbagai kalangan termasuk pakar, pengusaha dan aktivis lingkungan. Komite akan mengumumkan rancangan rencana aksi strategi nasional dalam lima tahun ke depan bulan Juli ini.
Menyadari masalah perubahan iklim global harus merangkul negara-negara di kawasan dan dunia internasional, pemerintah Korsel berharap programnya bisa dicontoh negara-negara lain. Meski mengaku terlambat, 'karena harus mengurusi hal-hal lain terlebih dulu', Korea berharap Green Growth akan berhasil. “Jika kita sukses, negara lain akan menyusul,” kata PM Han.
Tawarkan Teknologi Penghijauan
Sementara itu Yoo Jang-hee, pakar lingkungan dari Ewha Womans University, Seoul kepada SH mengatakan negerinya bisa membantu Indonesia dalam menghijaukan kembali hutan-hutan yang rusak. “Kami memiliki pengalaman dalam menghijaukan kembali hutan-hutan yang gundul,” kata Profesor Yoo. Korea memiliki teknologi dan pengetahuan untuk menentukan jenis tanah dan jenis tanaman yang tepat, sehingga program reboisasi bisa berlangsung lebih cepat.
Dalam seminar, selain dibahas masalah Green Growth, beberapa wartawan juga bertukar pengalaman soal masalah lingkungan di negaranya. Sergei Merinov, wartawan surat kabar pemerintah Rusia, Rossyskaya Gazeta mengaku iri pada Korea dan negara-negara lain yang telah mengubah krisis ekonomi menjadi kesempatan, mengubah fundamental ekonomi dan menciptakan penggerak ekonomi baru. “Rusia belum siap melakukan revolusi hijau, baik secara ekonomi maupun psikologi,” katanya. Keprihatinan serupa disampaikan wartawan The Guardian, Nigeria, Martinus Oloja. Dia menyatakan masalah lingkungan belum menjadi prioritas di negerinya. Wartawan pun tidak paham isu-isu lingkungan baik yang dihadapi negerinya maupun masalah global. “Masyarakat Nigeria menganggap bencana alam sebagai cobaan dari Tuhan,” kata Martin.
Sedangkan Arnoud Rodier, wartawan senior Le Figaro, Prancis mengatakan semua isu di negaranya selalu dipolitisasi termasuk lingkungan. Namun, Pemerintah Prancis berhasil meluncurkan program “Grenelle Environment” Juli 2007. Program itu diharapkan akan disahkan parlemen dalam beberapa pekan mendatang. Dan akan disusul dengan “Grenelle Environment II” akhir tahun ini.
Reformasi akan dilakukan di delapan sektor, perubahan iklim dan energi, keanekaragaman hayati, dan sumber daya alam, kesehatan dan lingkungan, produksi dan konsumsi, lingkungan dan demokrasi, pesaingan usaha dan lapangan kerja, organisme hasil modifikasi genetika dan sampah.
Pemerintah Prancis juga telah memberikan paket stimulut senilai satu miliar euro untuk pengembagnan energi serta mesin baru. Dua puluh persen tanah di Prancis akan dijadikan lahan pertanian biologi pada 2020. ***
dipublikasikan di Sinar Harapan, 8 Juli 2009
No comments:
Post a Comment