Search This Blog

Friday, September 18, 2009

Buka Puasa ala Pakistan, Tak Lengkap Tanpa Samosa dan Pakora

Jakarta - Siapa nyana, Pakistan punya banyak kemiripan adat istiadat dengan Indonesia, terutama di kala buka puasa dan Lebaran. Kalau orang Indonesia biasa berbuka dengan kolak, orang Pakistan berbuka dengan hidangan segar mirip kolak yang disebut chaat.

Chaat adalah “kolak” Pakistan. Bedanya kuah chaat terbuat dari susu atau yogurt tanpa rasa, ditambah sedikit gula. Isinya pun terdiri atas buah-buahan seperti apel, pisang, jambu atau anggur. Lebih mirip sup buah atau es buah kita.

Selain chaat, orang Pakistan juga mempunyai hidangan wajib saat iftar, yakni chepati, pakora, dan samosa, lengkap dengan saus mint chutney yang berwarna hijau segar. "Buat orang Pakistan, tak ada buka tanpa pakora dan samosa," kata Mirza Salman Babar Beg, Kuasa Usaha Pakistan untuk Indonesia saat acara buka puasa bersama di Jakarta, Senin (14/9).

Menurut Mirza, sebagai negara muslim, banyak kesamaan adat istiadat maupun bahasa Indonesia dengan negaranya. Orang Pakistan pun merayakan Idul Fitri seperti muslim Indonesia. "Idul Fitri dirayakan seperti festival nasional. Setelah salat Ied, kami berziarah ke makam orang tua dan keluarga, sama seperti di Indonesia," kata Salman.

Dia menjelaskan kata 'ziarah' juga sama artinya dengan zarrant dalam bahasa Urdu. Soal bahasa, banyak kesamaan, seperti hidayah, amanah, khusus, dan kunci.

Salman mengaku nyaman menjalankan ibadah puasa di Indonesia. "Selain waktu iftar 45 menit lebih lama di Pakistan, iklim Indonesia juga lebih nyaman. Suhu udara di Pakistan panas," katanya.

Istrinya, Somia Salman mengungkapkan, gadis-gadis di Pakistan juga berdandan secantik-cantiknya sewaktu Lebaran. Mereka berpakaian tradisional, yang disebut shalwar kameez dengan sedikit bordiran. "Semua orang mengenakan baju yang modis," kata Somia.

Perempuan Pakistan melukisi tangan mereka dengan henna. Di malam takbiran, keluarga besar berkumpul, dan para wanita saling menghiasi tangan mereka dengan henna.

Lima hari menjelang Lebaran, pasar-pasar buka hingga tengah malam. Baju-baju, perhiasan, dan sepatu banyak digelar. Para wanita biasanya memadumadankan sepatu dengan perhiasan dan warna gaunnya.

Di Pakistan juga ada kebiasaan mudik, serta membagi-bagikan uang baru kepada anak-anak kecil yang disebut eidi.

Sementara itu, Atase Pers Kedubes Pakistan Saeed Javed mengatakan, di negaranya di kala iftar, banyak orang di jalan-jalan menawarkan buka puasa gratis. "Biasanya yang ditawarkan buah atau jus," katanya. Orang tidak perlu cemas jika berada di jalan saat berbuka tiba. "Kami bisa mengetuk pintu rumah terdekat, dan mereka biasanya menawarkan makanan berbuka puasa," kata Saeed. Di Pakistan, para pejabat pemerintah juga kerap mengadakan buka puasa bersama. "Paling sedikit tamunya seratus orang," kata Saeed. (natalia santi)

Diterbitkan Sinar Harapan, Jumat, 18 September 2009

foto: pakistanifoodrecipes.com

Menemukan Budaya Indonesia di Malaysia


Jakarta – Saat berkesempatan berkunjung ke Malaysia tahun lalu, SH memang menemukan banyak kebudayaan Indonesia yang dijadikan ajang promosi pariwisata negeri jiran tersebut. Dalam kerangka berpikir sebagai negara tetangga berdekatan, tampaknya lumrah, banyak budaya kita di sana. Namun, badan pariwisata Malaysia tampak lebih “cerdas” mengemas budaya itu sehingga mendatangkan dolar ke kantung mereka.

Di salah satu pasar terkenal di Kuala Lumpur, Central Market, angklung dipertunjukkan setiap hari, kecuali Senin, mulai pukul 11.30. Sebagai orang Indonesia, saya tertawa membaca penjelasan mengenai angklung yang terpampang dekat deretan alat musik bambu tersebut.

Dijelaskan dalam bahasa Inggris “.. angklung banyak ditemukan di berbagai tempat di Asia Tenggara, namun diyakini berasal dari Pulau Jawa. Musik Tradisional angklung juga ditemukan di Jawa Timur, Jawa Tengah dan pulau-pulau lainnya. Saat ini, angklung banyak dimainkan di berbagai tempat di Malaysia....

Kita semua tahu bahwa angklung berasal dari Jawa Barat dan mungkin sangat jarang ditemukan di daerah-daerah yang disebutkan dalam papan itu. Tidak dijelaskan pula bahwa Pulau Jawa itu adalah bagian dari negara tetangganya, Indonesia. Mungkin ini adalah bagian dari kiat pariwisata mereka.

Di Museum Petrosains yang terletak di menara kembar KLCC, dipajang pula wayang kulit. Meski demikian, buatannya kasar dengan warna-warna yang tidak lumrah dilihat pada wayang kulit Jawa.

Malaysia memiliki corak batik tersendiri. Batik cap asal Indonesia dikenal sebagai batik Jawa dan cukup laris di negeri ini. Di Langkawi, salah satu daerah tujuan wisata yang dikembangkan mantan Perdana Menteri Mahathir Mohammad, batik Jawa diobral dengan harga 15 ringgit untuk tiga helai (satu ringgit = sekitar Rp 2.800).

Seperangkat gamelan juga bisa ditemukan di lobi Angkasapuri, kompleks televisi dan radio pemerintah Malaysia. Sama seperti wayangnya, gamelan tersebut juga tidak seindah gamelan-gamelan Jawa.

Lagu-lagu asal daerah Minang terdengar di negeri jiran tersebut. Selain Hetty Koes Endang, yang albumnya di kala muda masih laris dan dipajang di etalase toko kaset dan CD di Malaysia. Seorang diplomat asal Malaysia pernah mengaku sangat menggemari lagu-lagu keroncong. Saat menikmati santap malam di sebuah restoran terkenal di Kuala Lumpur, SH turut mendengarkan lagu “Ayam den Lapeh” dilantunkan. Dalam restoran banyak turis asing mendengarkan. Namun, apakah salah berdendang? (natalia santi)

Diterbitkan Sinar Harapan, 11 September 2009